Tugas
ke 4
Buku
pertama
Rantau
1 Muara
Penulis: Ahmad Fuadi
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 978-979-22-9473-6
Tebal: 407 hlm
Dimensi: 20 cm
Tahun terbit: 2013
Cetakan: Kedua, Juni 2013
Genre: Fiksi Motivasi, Fiksi Pendidikan
Apa sebenarnya yang kita cari dalam hidup ini? Kebahagiaan? Impian? Kenyamanan? Bahkan, saat kita telah meraih sebagian besar harapan kita, pertanyaan itu kerap membayangi diri kita sampai kita benar-benar tahu dan yakin apa sebenarnya tujuan dan makna hidup kita.
Pemaknaan terhadap tujuan hidup ini digoreskan lewat sosok Alif dengan sangat indah dalam Rantau 1 Muara , novel ketiga dari trilogi Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi. Para penikmat Negeri 5 Menara tentu cukup familiar dengan sosok Alif. Ia telah melewati banyak pengalaman mengejutkan sebagai representasi dari pepatah arab man jadda wajada . Siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil.
Alif sudah menjalani hampir separuh dunia. Ia diwisuda dengan nilai terbaik. Soal biaya hidup, Alif masih bisa bernapas lega. Di saat teman-temannya masih menjadi pengangguran, tulisan Alif banyak tersebar di berbagai media. Honornya masih lebih dari cukup untuk menghidupi dirinya dan Amak beserta adik-adiknya di kampung. Meskipun begitu, ia tetap mencari kerja. Alif ingat pesan Kiai Rais,
Jangan gampang terbuai dengan keamanan dan kemapanan. Hidup itu kadang perlu beradu, bergejolak, bergesekan. Dari gesekan dan kesulitanlah, sebuah pribadi akan terbentuk matang. Banyak profesi di luar sana, usahakanlah untuk memilih yang paling mendewasakan dan paling bermanfaat buat sesama. Lalu kalau kalian nanti sudah bekerja, jangan puas jadi pegawai selamanya, tapi punyailah pegawai. (halaman 12).
Keyakinan dirinya ternyata kurang tepat. Alif lulus di saat Indonesia mengalami krisis moneter. Ada banyak perusahaan yang mengencangkan ikat pinggang agar mampu bertahan di tengah badai ekonomi. Dari sekian banyak surat lamaran yang dikirimkan Alif, tak satu pun balasan bernada gembira. Semua menolak Alif. Kebutuhan hidup yang terus berteriak dan kondisi keuangan yang sudah habis akhirnya membuat Alif terlibat utang. Di saat genting seperti itu, datang berita gembira. Alif diterima di sebuah media bernama Derap, salah satu media paling independen dan idealis di negeri ini.
Ia begitu menikmati pekerjaan menjadi jurnalis di Derap. Hingga suatu ketika, ia merasa ragu apakah jalan yang ia tempuh ini adalah jalannya. Di sinilah ia bertemu Dinara, seorang gadis yang membuatnya luluh dan jatuh hati dengan segala keunikannya. Bagaimana kelanjutan hubungan mereka?
Impiannya untuk melanjutkan S-2 di Amerika belum pupus. Ia mulai berburu beasiswa. Setiap malam, sehabis bekerja, ia belajar lebih giat dari orang-orang umumnya. Ia tidur lebih larut dari orang kebanyakan. Ia yakin, jika ia berusaha lebih keras, Allah akan melihat usahanya.
Tuhan ini Maha Melihat siapa yang paling bekerja keras. Dan Dia adalah sebaik-baiknya penilai. Tidak akan pernah Dia menyia-nyiakan usaha manusia. Aku percaya setiap usaha akan dibalas-Nya dengan balasan sebaik-baiknya. (halaman 154)
Alif berhasil mendapatkan beasiswa Fulbright dan terbang ke Washington DC. Hidup di sana benar-benar sempurna baginya. Sampai terjadilah peristiwa itu. Tragedi 11 September 2001 telah meluluhlantakkan menara kembar WTC dan menyebabkan ia kehilangan orang yang ia sayang, kakak angkatnya. Alif terjebak dalam kesedihan yang panjang. Ia pun memutuskan untuk pulang ke tanah air. Tapi, menjelang waktu kepulangannya, lamarannya ke EBC di London yang sudah sangat lama ia ajukan ternyata diterima. Alif bimbang. Apakah ia harus pulang sekarang dan menolak semua tawaran pendapatan dan kenyamanan yang menggiurkan dari EBC? Impiannya yang berikutnya sudah di depan mata. Apa yang harus ia pilih?
Kisah perjalanan Alif dalam mengejar impian dan menemukan makna hidupnya ini cukup pantas untuk dinikmati. Novel ini adalah sebuah karya yang penuh energi positif bagi siapa pun yang sedang bimbang dalam mencari tempat berkarya, pendamping hidup, bahkan mencari tujuan hidup. Ada begitu banyak penuntut ilmu yang merantau jauh ke negeri orang, tapi tidak tahu untuk apa mereka melakukannya. Seperti halnya impian, yang semakin bertambah saat impian yang satu telah terwujud, apa esensi dari impian itu? Untuk siapa? Untuk apa? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang pantas kita ajukan pada diri kita sendiri.
Lewat Rantau 1 Muara, kita yang muslim juga diingatkan tentang euforia masa lalu. Betul memang, bahwa muslimlah yang mengawali peradaban ilmu pengetahuan. Betul juga bahwa muslim yang mengembangkan peradaban Yunani menjadi lebih membumi. Tapi pertanyaan yang lebih pentingnya adalah, Apa yang diberikan muslim kepada peradaban dunia saat ini? Ini tentu bisa menjadi bahan perenungan bagi kita semua agar lebih produktif lagi. Jangan terjebak dengan kejayaan masa lampau hingga kita terlena dan lupa untuk membangun peradaban yang lebih baik di masa kini.
Novel ini berisi banyak sekali informasi, mulai dari tempat-tempat istimewa, cara bekerja media dan jurnalis, prinsip hidup, hingga beasiswa bergengsi, yang disuguhkan Ahmad Fuadi dengan cara apik, natural dan sangat detil. Gaya berceritanya juga mengalir dan enak dinikmati. Sayang rasanya bila dilewatkan tanpa mencatatnya. Selain itu, kita juga bisa mengikuti perjalanan Alif di New York dan Washington DC lewat peta yang disediakan di sampul depan dan belakang buku. Bagi saya, buku ini lumayan berbobot. Selain menambah wawasan umum, Rantau 1 Muara juga membuka kembali cara kita memandang hidup ini; tentang makna keberadaan diri kita di muka bumi dan tentang kemanfaatan.
Man saara ala darbi washala. Siapa yang berjalan di jalannya akan sampai di tujuan.
Muara manusia adalah menjadi hamba sekaligus khalifah di muka bumi. Sebagai hamba, tugas kita mengabdi. Sebagai khalifah, tugas kita bermanfaat. Hidup adalah pengabdian. Dan kebermanfaatan. (halaman 395)
Saat selesai membacanya, saya lalu membaca informasi singkat tentang penulis. Ternyata, kisah perjalanan Alif ini sangat mirip dengan perjalanan hidup penulis. Intinya, bukan biografi, tapi terinspirasi dari kehidupan nyata, termasuk soal profesinya yang sama dengan sang istri. Pantas saja informasi yang disuguhkan sangat detil dan memiliki kesamaan latar. Satu hal lagi, saking banyaknya tempat-tempat menarik yang saya temukan dan catat, saya memutuskan membuat halaman terpisah khusus untuk wisata buku Rantau 1 Muara.
Beberapa catatan penting atau kalimat positif yang saya dapat:
Polymath adalah orang cerdas yang mampu menguasai beragam ilmu sekaligus. Contohnya Ibnu Rusyd dan Leonardo da Vinci. (halaman 40)
Betapa hebatnya sebuah tulisan. Kekal, melewati batas umur, zaman, bahkan geografis. Melalui tulisan dan huruflah manusia belajar dan menitipkan ilmu kepada manusia lain. (halaman 41)
Carilah pekerjaan yang kamu cintai dan kamu tidak akan pernah lagi bekerja satu hari pun sepanjang hayat Konfusius. (halaman 111)
Man thalabal ula sahirul layali. Siapa yang ingin mendapatkan kemuliaan, bekerjalah sampai jauh malam pepatah Arab. (halaman 155)
An nasu adau ma jahilu. Manusia itu musuh terhadap apa yang dia tidak tahu. (halaman 163)
Menurut US Freedom of Information Act, semua confidential documents dan surat-menyurat agen CIA, termasuk radiograms, ketika sudah berumur 30 tahun bisa dibuka kepada publik. (halaman 287)
Buku
kedua
Filosofi
Kopi
Judul:
Filosofi Kopi, Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade
Penulis: Dee
Penerbit:
Truedee Books, GagasMedia
ISBN :
979-96257-3-4
Tebal: 134
hlm
Dimensi:
20,5 cm
Tahun
terbit: 2006
Cetakan:
Keempat, April 2006
Genre: Fiksi
Cerpen
Rating: 3/5
Filosofi Kopi adalah buku kedua Dee yang saya baca setelah Perahu Kertas . Dan seperti yang sudah saya
duga sebelumnya, gaya Dee bertutur masih tetap indah dan mengalir. Sederhana.
Ketika seorang Goenawan Mohamad berkata, Jika ada yang memikat pada Dee adalah
cara dia bertutur: ia peka pada ritme kalimat. Kalimatnya berhenti atau terus
bukan hanya karena isinya selesai atau belum, tapi karena pada momen yang tepat
ia menyentuh, mengejutkan, membuat kita senyum, atau memesona, maka saya sangat
setuju dengannya. Meskipun tak semua ide cerita di buku ini bisa saya sukai,
tapi gaya Dee tetap saja nikmat, senikmat menyesap susu coklat di senja hari.
Buku yang saya miliki ini adalah versi sampul
lama yang masih berwarna hitam. Buku ini berisi 18 kumpulan cerita dan prosa
Dee selama satu dekade tahun 1995 sampai 2005. Cerita yang paling saya suka
sudah pasti adalah Filosofi Kopi yang berkisah tentang dua sahabat karib, Ben
dan Jody, bersama suka dukanya mengelola kedai kopi yang unik. Tentu saja unik,
sebab setiap pelanggan bisa menemukan dirinya sendiri di sana berdasarkan
filosofi kopi yang mereka pesan. Itulah mengapa kedai mereka diberi nama
Filosofi Kopi.
Ben adalah seorang barista andal yang sangat
mencintai kopi. Ia bahkan berkeliling dunia untuk menyicipi kopi-kopi terenak
yang pernah ada. Ia selalu senang mengajak pengunjung kedainya ngobrol seputar kopi, menunjukkan cara minum kopi yang
nikmat, lalu dengan keajaiban kopinya, setiap pengunjung akan dibuat takjub
setelah menyesap kopi-kopi mereka. Sedangkan Jody adalah pria dengan kemampuan
manajerial dan akuntansi yang andal. Jadilah mereka dua sejoli yang saling
melengkapi.
Suatu hari, Ben merasa tertantang oleh tawaran
seorang pengunjung kedainya untuk membuat kopi yang sempurna. Berhari-hari ia
tak peduli akan banyak hal kecuali percobaan demi percobaan racikan kopinya.
Dan suatu hari, perjuangannya itu terbayar. Ben Perfecto akhirnya lahir dan
menjadi kopi paling enak di kedainya, bahkan di dunia seperti pengakuan Ben.
Sukses adalah wujud kesempurnaan hidup, begitulah arti kopinya.
Tapi tampaknya peribahasa, Di atas langit
masih ada langit, itu berlaku pula pada kopi Ben. Ada kopi lain yang lebih enak
dari Bens Perfecto. Namanya kopi Tiwus, yang diracik oleh seorang bapak di
sebuah desa nun jauh dari Jakarta. Ben merasa kalah dan nyaris saja menutup
kedai kopinya. Lalu apa yang terjadi kemudian? Tak ada yang sempurna di dunia
ini.
kita tidak
bisa menyamakan kopi dengan air tebu. Sesempurna apa pun kopi yang kamu buat,
kopi tetap kopi, punya sisa pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan. Dan di
sanalah kehebatan kopi tiwus memberikan sisi pahit yang membuatmu melangkah
mundur, dan berpikir. (halaman 28)
Cerpen Rico de Coro juga unik dan asyik, sebab
mengangkat tema ringan yang tak biasa tentang kehidupan kecoa dapur, yang kalau
kita tilik lebih dalam akan memberikan multi makna bagi setiap pembacanya.
Selain cerita pendek, prosa Dee di buku ini
hampir semuanya saya suka, tapi yang paling memberikan makna mendalam adalah
prosa Salju Gurun dan Spasi. Pemaknaan Dee dalam setiap prakatanya selalu saja
berhasil menyatu dengan indah, menyisakan pesona yang berbeda. Selalu.
Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia
bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi? (halaman
97)
Selain dua cerita pendek tadi, cerita lainnya
berkisar tentang cinta dua manusia. Meskipun masih dengan penuturan yang indah
dan pemaknaan yang mendalam, namun tetap saja temanya kurang saya minati. Lain
orang, lain pula minatnya. Tapi, cukup dengan satu cerpen Filosofi Kopi saja,
maka buku ini benar-benar nikmat, hingga jika cerita-cerita lainnya tak
diacuhkan pun, buku ini tetap nikmat. Membacanya membuat saya tergelitik penasaran,
Adakah kedai kopi seperti itu di dunia nyata Indonesia? Jika ada, saya ingin
sekali mengunjunginya.
Filosofi Kopi terbit pertama kali pada Februari 2006. Hingga
tulisan ini dibuat, buku ini telah puluhan kali mengalami cetak ulang dengan
sampul yang berbeda-beda. Dari penelusuran yang saya lakukan, setidaknya ada
tiga versi sampul yang telah diterbitkan selain sampul hitam seperti yang saya
miliki, dan ketiganya sama indahnya.
Setiap
jenjang memiliki dunia sendiri, yang selalu dilupakan ketika umur bertambah
tinggi. Tak bisa kembali ke kacamata yang sama bukan berarti kita lebih
mengerti dari yang semula.(Jembatan Zaman halaman 68).
Daftar Pustaka
Fuadi, Ahmad. 2013. Rantau 1 Muara. Gramedia Pustaka Utama
Dee. 2006. Filosofi Kopi. Gagas Media
Fuadi, Ahmad. 2013. Rantau 1 Muara. Gramedia Pustaka Utama
Dee. 2006. Filosofi Kopi. Gagas Media
0 comments:
Post a Comment